Apa tantangan menciptakan lingkungan kerja bebas diskriminasi? Bagaimana perusahaan atau tempat kerja menentukan kualifikasi yang tepat dan bebas diskriminasi itu?
Oleh Dimas Aryo Wicaksono
Artikel Opini, repost dari website https://www.kompas.id/artikel/bebas-diskriminasi-bukan-sekadar-menghapus-syarat-usia?open_from=Opini_Page
Pemerintah baru saja menerbitkan surat edaran terkait dengan larangan mencantumkan batasan usia dalam lowongan pekerjaan. Tentu saja hal ini dalam kerangka semangat menghapus diskriminasi di tempat kerja. Akan tetapi, upaya untuk menciptakan tempat kerja yang bebas diskriminasi tidak cukup berhenti pada penghapusan batasan usia. Hal ini perlu dipahami dalam kerangka bahwa setiap pekerja atau individu berhak memiliki peluang yang sama di tempat kerja.
Tulisan ini membahas tentang apa tantangan yang dihadapi untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas diskriminasi dan bagaimana seharusnya perusahaan atau tempat kerja menentukan kualifikasi yang lebih tepat dan bebas diskriminasi.
Hofstede dalam teori budaya menyebutkan bahwa Indonesia cenderung memiliki budaya yang dikenal memiliki level of uncertainty yang cukup rendah. Artinya, orang Indonesia cenderung menghindari hal-hal yang tidak pasti sehingga penting untuk mengetahui ”bobot bibit bebet” seorang kandidat. Hal ini yang kadang membuat semakin sulit untuk menghindari praktik nepotisme dalam seleksi atau rekrutmen pekerja.
Kembali dalam konteks batasan usia, ada keraguan jika pekerjaan-pekerjaan tertentu dilakukan oleh mereka yang melebihi batasan kemampuan sesuai usianya akan memengaruhi kinerja dan pada akhirnya berdampak pada perusahaan secara keseluruhan. Hal ini yang sering kali membuat perusahaan menjadikan usia sebagai syarat pekerjaan tersebut.
Upaya untuk menghapus diskriminasi dalam rekrutmen pekerja juga terkendala dengan kecenderungan perusahaan untuk menentukan syarat mengikuti tren yang berlaku, seperti syarat penampilan yang menarik, usia, dan latar belakang pendidikan tertentu, yang terkadang tidak relevan dengan pekerjaannya.
Terlebih lagi, kecenderungan perusahaan untuk menetapkan kualifikasi yang lebih tinggi agar benar-benar mendapatkan pekerja yang berkualitas juga membuat perusahaan terjebak dalam praktik diskriminatif. Tentu saja hal ini sudah menjadi naluri dan tidak sepenuhnya salah, tetapi perusahaan juga perlu lebih jujur pada diri sendiri dan melakukan introspeksi, apakah memang karyawan dengan kualitas yang tinggi itu yang benar-benar dibutuhkan.
Mengapa ini penting? Karena karyawan dengan kualifikasi yang terlalu tinggi bukan berarti tanpa ada risiko. Risiko yang paling kecil adalah munculnya ketidakpuasan di tempat kerja dan pada akhirnya memilih keluar. Hal ini juga yang mungkin membuat banyak pekerja dianggap memiliki loyalitas yang rendah karena dengan mudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaan.
Praktik diskriminatif
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kecenderungan menentukan kualifikasi yang lebih tinggi dapat menempatkan perusahaan menjalankan praktik-praktik diskriminatif karena bisa jadi kualifikasi-kualifikasi yang ditetapkan sebenarnya tidak relevan dan tidak sesuai kebutuhan. Namun, hanya sebatas memenuhi keinginan perusahaan.
Praktik diskriminatif yang dimaksud di sini berarti bahwa kandidat yang sebenarnya memenuhi kriteria yang sesuai dengan pekerjaan ini, menjadi tertutup peluangnya karena perusahaan justru menetapkan kriteria yang sama sekali tidak relevan dan cenderung lebih tinggi dari yang seharusnya dibutuhkan.
Lalu, bagaimana menghindari praktik diskriminatif itu?
Yang paling sederhana sebenarnya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, yaitu dengan betul-betul menyadari apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh perusahaan. Pertama, mulai dengan memahami karakteristik pekerjaan yang akan dilakukan dan menetapkan kriteria yang benar-benar relevan.
Sebagai contoh, saya menjumpai pekerja di sebuah museum di Belanda justru mempekerjakan pegawai-pegawai yang sudah tua karena mereka benar-benar dapat menjiwai pekerjaannya dan pengunjung pun juga merasakan nuansa klasik dari museum tersebut. Dengan kata lain, perusahaan harus jujur tentang apa yang seharusnya dicari, tidak hanya sekadar mengikuti tren atau bahkan cenderung ”mencari dewa” atau mereka yang memiliki kualifikasi yang tinggi.
Kedua, perusahaan juga harus memahami karakteristik budaya atau nilai-nilai yang diyakini bersama. Saat ini, mencari orang yang ”bisa” melakukan pekerjaan saja tidak cukup. Perusahaan juga perlu mempertimbangkan apakah orang tersebut akan ”klik” dengan lingkungan sekitarnya dan sejalan dengan nilai-nilai perusahaan.
Hal ini menjadi penting karena mereka yang memiliki prinsip atau nilai yang tidak sejalan dengan tempat kerjanya cenderung akan lebih sulit untuk dibentuk dan diselaraskan. Dengan demikian, perusahaan perlu meluangkan waktu untuk juga memahami apa nilai-nilai dan budaya yang diyakini bersama di tempat kerja mereka serta dapat dibagikan kepada karyawan-karyawan baru berikutnya.
Kembali ke konteks upaya menghindari praktik diskriminatif dan penghapusan batasan usia kerja, juga kesamaan peluang bagi penyandang disabilitas yang juga tercantum dalam surat edaran yang baru saja dikeluarkan pemerintah.
Perusahaan perlu dengan jujur memahami karakteristik pekerjaan dan menentukan kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut sehingga pada akhirnya syarat-syarat yang ditetapkan menjadi relevan dan membuka peluang yang sama bagi mereka yang memenuhinya. Terkait dengan ini, perusahaan perlu melakukan analisis jabatan dan mulai menjalankan mekanisme rekrutmen berbasis kompetensi atau kriteria yang relevan.
Selain itu, perlu juga mempertimbangkan keselarasan prinsip dan nilai individu dengan nilai yang diyakini perusahaan sehingga pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan kerja yang selaras dengan memiliki identitas budaya yang kuat.
Dalam konteks ini, perusahaan perlu melakukan identifikasi nilai dan budaya organisasi serta dipastikan bahwa nilai dan budaya ini eksis dan diyakini bersama semua elemen di perusahaan tersebut, kemudian juga menjadi sebuah kriteria yang disampaikan dalam lowongan pekerjaan.
Dengan demikian, momentum dikeluarkannya surat edaran ini juga sebenarnya dapat digunakan untuk mulai lebih memahami karakteristik pekerjaan dan kriteria yang benar-benar relevan dengan pekerjaan tersebut serta memahami nilai dan budaya yang diyakini bersama yang berlaku dalam perusahaan tersebut.
Dimas Aryo Wicaksono; Peneliti, Mahasiswa S3 di TU Delft