Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Mau Dibawa ke Mana PLP oleh Kemenkes?

Artikel ditulis oleh Suryanto: Mau Dibawa ke Mana PLP oleh Kemenkes? – Jawa Pos

RUU Kesehatan saat ini sedang gencar dibahas oleh Komisi IX DPR RI. Berbagai masukan, kritik, dan bahkan penolakan juga sempat muncul. Jawapos.com (6/5/2023) menuliskan bahwa ribuan tenaga kesehatan (nakes) kembali berunjuk rasa menolak RUU Kesehatan yang tengah dibahas Komisi IX DPR. Para nakes itu meminta aturan anyar tersebut tidak dibahas secara buru-buru karena menyangkut banyak aspek. Seiring dengan pembahasan RUU oleh DPR RI itu, konsil tenaga kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), khususnya konsil psikologi klinis, juga getol menyusun kebijakan dan aturan terkait dengan praktik psikologi klinis yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).

Tulisan ini muncul karena adanya keprihatinan penulis dan juga munculnya persepsi negatif setelah beberapa kali ikut rapat bersama konsil tenaga kesehatan dan bidang hukum Kementerian Dikbudristek yang melibatkan konsil psikologi klinis. Pertama, tampaknya lembaga ini kurang memahami etika birokrasi persuratan. Saat itu Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mengundang 19 ketua program studi magister profesi psikologi untuk disosialisasi tentang e-STR. Kedua, ada upaya konsil ini untuk membuka program pendidikan vokasi psikologi klinis melalui politeknik kesehatan. Ketiga, ada upaya ”monopoli” perizinan praktik psikologi klinis melalui Kemenkes. Keempat, adanya sikap ”cuek” terhadap keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi sementara RUU Kesehatan sedang diperdebatkan dan disusun.

Dari catatan penulis, ada beberapa isu penting yang harus diluruskan di Kemenkes terkait dengan psikologi. Khususnya, apa yang dilakukan konsil tenaga kesehatan/konsil tenaga psikologi klinis. Yaitu: istilah psikologi klinis, isu tentang kesehatan mental yang dijadikan isu strategis Kemenkes dalam merekrut tenaga kesehatan khususnya bidang psikologi, model pendidikan akademik dan profesi yang akan dibuat menjadi pendidikan vokasi, pembelokan makna pasal di UU Praktik dan Layanan Psikologi, serta pengeluaran STR yang dilakukan Kemenkes.

Istilah psikologi klinis tampaknya menjadi istilah yang ”sakral” dan harus ada di Kemenkes apabila psikolog akan memberikan layanan di bidang kesehatan. Tampaknya konsil dan juga penyusun UU Nomor 36 Tahun 2014 kurang memahami bahwa seluruh lulusan pendidikan profesi psikologi adalah psikolog umum. Kalaupun ada psikolog yang mengaku psikolog klinis, sifatnya hanya peminatan dalam bidang psikologi klinis.

Isu kedua berhubungan dengan pentingnya kesehatan mental dan kebutuhan psikolog klinis yang menangani di fasyankes. Kesehatan mental harus ditangani oleh salah satunya psikolog klinis. Angka-angka yang disodorkan oleh konsil saat rapat tentang kebutuhan tenaga kesehatan bidang psikologi adalah angka estimasi atau proyeksi WHO yang tidak melakukan pengukuran dan diagnosis penderita gangguan jiwa. Bila data yang dipakai adalah data proyeksi, secara ilmiah hal itu kurang bisa dipertanggungjawabkan dan cenderung bisa menghasilkan kebohongan publik. Seberapa gawatkah kesehatan mental bangsa ini versi konsil tenaga kesehatan? Sudahkah melakukan diagnosis seluruh masyarakat?

Isu ketiga terkait pendidikan psikologi. Dalam UU 23/2022 Pasal 5 dengan tegas dinyatakan, ada dua macam pendidikan psikologi, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Dengan kedua pendidikan ini tentunya, tertutup bagi Kemenkes untuk mendirikan pendidikan vokasi psikologi klinis. Oleh karena itu, apabila Kemenkes masih berpegang teguh mau mendirikan pendidikan vokasi psikologi klinis, berarti isi UU PLP (Pendidikan dan Layanan Psikologi) kurang dipahami.

Berikutnya, isu pembelokan pasal 22 di UU PLP. Tampaknya, upaya getol yang dilakukan Kemenkes melalui konsil tenaga kesehatan mencerminkan upaya pengabaian isi UU 23/2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi. Sebabnya, di pasal 22 dinyatakan, ketentuan mengenai registrasi dan izin praktik bagi psikolog yang memberikan layanan psikologi di fasyankes dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Dari pasal ini, Kemenkes tidak mengatur proses pendidikannya, tetapi hanya registrasi dan izin praktik bagi psikolog (bukan psikolog klinis) yang bekerja di fasyankes.

Pada Pasal 55 UU PLP dinyatakan, ketentuan dalam UU ini berlaku bagi psikolog yang bekerja di fasyankes sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Tentunya, bila ada psikolog bidang pendidikan yang menyeleksi para calon mahasiswa kedokteran, tidak harus dites psikologi oleh bagian psikologi rumah sakit. Tapi boleh dilakukan psikolog bidang pendidikan.

Dalam dua pasal tersebut tidak pernah ada kata psikolog klinis. Tapi dalam interpretasi dan publikasinya di beberapa media, dengan memaksakan kata psikolog klinis. Kondisi itu tampaknya perlu lebih hati-hati dalam memaknai isi UU. Kalau Kemenkes akan menggunakan UU tentang Tenaga Kesehatan, jangan sampai mengabaikan UU yang kemunculannya lebih baru. UU Tenaga Kesehatan itu lebih tua usia lahirnya daripada UU Pendidikan dan Layanan Psikologi.

Isu tentang STR yang selama ini juga dimunculkan oleh konsil tenaga psikologi klinis tampaknya merupakan interpretasi yang berlebihan tentang UU Tenaga Kesehatan. Tampaknya, apa yang dilakukan Kemenkes juga tidak memperhatikan keberadaan UU 23/2022 tentang PLP.

Mengapa konsil tenaga kesehatan melalui konsil psikologi klinis begitu getolnya membuat langkah-langkah yang mengeruhkan suasana pendidikan dan layanan psikologi saat ini, sementara RUU Kesehatan masih digodok DPR RI? Ada apa di balik semua ini?

Semoga tulisan ini menjadi renungan, bisa mengingatkan konsil tenaga kesehatan dalam mengatur praktik dan layanan kesehatan dan juga informasi bagi DPR yang saat ini sedang menyusun RUU Kesehatan. Ingat bahwa lulusan psikologi itu kerjanya di berbagai bidang dan di fasyankes hanya sebagian kecil. Dan harmonisasi antar peraturan/UU juga harus menjadi perhatian semua pihak. Semoga bermanfaat. (*)

*) SURYANTO, Guru besar psikologi sosial dan dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya