Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Gangster Motor dan Krisis Identitas

Artikel ditulis oleh Suryanto: Gangster Motor dan Krisis Identitas – Jawa Pos

FENOMENA gangster motor di Surabaya beberapa hari terakhir menjadi pemberitaan yang hangat di media cetak maupun media sosial. Aksi mereka meresahkan. Tidak hanya berkonvoi keliling kota pada malam hari, tawuran, dan sebagainya, tetapi juga bertindak yang meresahkan masyarakat. Bisa dibayangkan siapa yang tak ngeri melihat segerombolan anak muda berkeliling kota dengan mengendarai sepeda motor, membawa senjata tajam, mengacung-acungkan golok bergerigi, celurit raksasa, dan sebagainya –seolah bersiap untuk berperang melawan musuh.

Seperti ramai diberitakan media massa, sebuah warung diserang gangster motor pada Jumat (2/12) dini hari. Puluhan orang terlibat dalam aksi penyerangan itu. Ada 50-an motor. Mereka lalu dikejar warga sekitar yang sudah keburu marah. Para remaja itu pun akhirnya menjadi target amukan massa.

Geng dan Gangster Motor

Jadi pemandangan sehari-hari saat ada sekelompok atau sekumpulan pemuda yang menaiki motor dan melakukan perjalanan bersama-sama dengan tujuan konvoi dan memiliki kegemaran dengan sepeda motor. Dalam realitasnya, sekumpulan pemotor ini ada yang melakukan aksi sosial di mana-mana. Inilah geng motor. Geng, sesuai KBBI V, disebut sebagai kelompok remaja yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah, dan sebagainya.

Namun, sebaliknya juga ada pemotor yang berperilaku kurang terpuji. Mereka memperlihatkan aksi-aksi yang patologis tanpa khawatir aksi mereka meresahkan masyarakat. Merekalah gangster motor. Gangster adalah penjahat atau bandit (KBBI V).

Berbeda dengan penggemar motor yang karena hobi melakukan touring berkeliling kota satu ke kota lain dengan damai, aksi gangster motor sering kali mengerikan. Makna kelompok pemotor itu akhirnya bergeser menjadi ke arah negatif. Sebab, kelompok tersebut bertindak antisosial seperti balapan liar, membuat keributan ketika pawai, dan merasa benar sendiri ketika berkendara di jalanan. Dengan peralihan makna itu, terdapat pembeda yang nyata antara pemotor yang berperilaku sosial dan yang berperilaku antisosial. Antara geng dan gangster.

Sebagai suatu kelompok, berkumpulnya anak-anak remaja tentunya juga memiliki tujuan. Perkumpulan tersebut memiliki tujuan beragam. Apabila hanya ingin konvoi, tidak banyak memberikan efek pada lingkungannya. Namun, kalau sudah balapan liar dan mengganggu ketenteraman dengan tindakan anarkistis, tentunya itu mengganggu masyarakat.

Remaja yang tergabung dalam gangster umumnya adalah para remaja yang sedang dalam proses perkembangan, yaitu mengalami krisis identitas. Menurut Erikson, krisis identitas terjadi karena remaja mengalami konflik kepribadian antara yang dipersepsi dan yang dihadapi dari lingkungannya. Ketika seseorang mempertanyakan jati diri mereka dan apa fungsi mereka ada di dunia ini. Remaja dalam hal ini yang sedang dalam masa analisis dan eksplorasi terkait perkembangan harga diri.

Identitas ini menjadi penting karena masa remaja menjadi tahap dari krisis identitas yang menempatkan mereka berada dalam kebingungan menentukan perspektif dan orientasi diri. Sekelompok remaja yang bergabung dalam geng motor tersebut tengah mencari identitas diri. Dalam proses itu, mereka cenderung mengikuti kelompok yang dianggap sebagai kelompok yang ideal. Geng motor itulah yang menjadi kelompok ideal mereka.

Geng motor menjadi kelompok yang antisosial manakala anggotanya adalah remaja yang memiliki kepribadian antisosial atau dikenal pula dengan istilah antisocial personality disorder (ASPD). ASDP muncul dan merupakan satu-satunya diagnosis ’’kriminal’’ dalam manual DSM-5. Menurut DSM-5, orang yang memiliki gangguan kepribadian antisosial mempunyai ciri-ciri, antara lain, cenderung mengabaikan benar dan salah dalam kehidupan kesehariannya, melakukan kebohongan dan penipuan terus-menerus untuk mengeksploitasi orang lain. Juga menjadi tidak berperasaan, sinis, dan tidak menghormati orang lain. Orang tersebut juga menggunakan pesona atau kecerdasan untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi atau kesenangan pribadi, arogansi, rasa superioritas, dan sangat keras kepala.

Ciri lainnya adalah berulang bermasalah dengan hukum, termasuk perilaku kriminal. Berkali-kali melanggar hak orang lain melalui intimidasi dan ketidakjujuran. Serta impulsif atau kegagalan untuk merencanakan ke depan.

Mengatasi Gangster Motor

Untuk mengantisipasi dan mengeliminasi agar ulah gangster motor tidak berkembang makin mencemaskan, mereka harus ditangani jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek ini, pihak keamanan dan pemerintah setempat melakukan tindakan antisipatif dan represif terhadap kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan kerawanan dan keresahan masyarakat yang disebabkan kelompok geng tersebut. Ketika aksi yang dikembangkan para geng motor sudah melewati batas wilayah kriminal, tidak ada cara lain kecuali menangkap dan memproses mereka secara hukum

Sementara itu, untuk jangka panjangnya, fungsi keluarga sebagai basis pendidikan dan pembinaan anak remaja perlu ditingkatkan lagi. Keluarga merupakan kunci pokok untuk mengatasi masalah geng motor. Dan, setelah itu baru pihak pemerintah seperti lembaga-lembaga yang membidangi masalah keamanan dan lembaga pembinaan sosial.

Peran keluarga menjadi sangat vital karena munculnya masalah geng motor bersumber dari anak yang keluar dari keluarga untuk pembentukan identitas diri dan sosial. Keluarga yang rapuh menjadi ’’sarang” utama kasus anak keluar dari rumah. Apakah keluarga sudah menjadi role model perkembangan anak?

Selain itu, komunikasi yang positif dan intensif dilakukan oleh orang tua dan anak dan anggota keluarga lainnya dengan baik. Persoalan anak yang mengalami krisis identitas tidak akan sampai keluar dari keluarga manakala keluarga memberikan jaminan akan ketenangan dan terselesaikannya konflik dan krisis identitas.

Orang tua perlu mengarahkan anaknya untuk mengikuti kegiatan positif, seperti olahraga, seni atau musik, atau kegiatan lain yang mengembangkan kepribadian positif. Apabila susah mengubah perilaku, anak untuk sementara dipindahkan ke lingkungan atau circle lain. Dan, dipastikan tidak menjalin hubungan dengan kelompok yang menjadi referensinya saat ini. Tentu dengan tetap mendapatkan pengawasan dari keluarga.

Mengatasi gangster memang tidak mungkin dilakukan hanya melalui pendekatan yang instan. Kembali pada peran keluarga sebagai lembaga sosial yang menjadi habitus anak-anak tumbuh dan berkembang untuk mempelajari nilai dan norma sosial. Cara tersebut adalah solusi yang paling efektif untuk mencegah agar anak-anak kita tidak terkontaminasi pengaruh buruk peer group-nya. (*)


*) SURYANTOGuru Besar Psikologi Sosial dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Editor: Dhimas Ginanjar